Sang Pembelajar
Senin, 04 November 2013
Balada Sang Perias Kota
Keringat bercucuran menetes di wajah keriputnya Terik matahari tak menghalangi semangat untuk melaksanakan tugasnya.Semua itu tak digubrisnya, tangannya masih dengan kuat menggenggam senjata andalan.
Sreekk..sreekk..sreekk… suara terdengar diantara suara-suara kendaraan yang berlalu lalang pada Sabtu siang 28 September 2013. Tampak dua wanita tua di bilangan jalan Proklamasi, Kota Tangerang tengah sibuk dengan senjatanya, sapu lidi dan pengki. Minah (58 tahun) dan Sumi (54 tahun) merupakan salah satu dari petugas pembersih dan penyapu jalan yang ditugaskan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangerang. Dengan
topi mandor bangunan, mereka berdua bertugas untuk menyapu jalanan
Jam sudah menunjukkan pukul 12.00, dengan seragam kebesaran mereka yang berwarna oranye, sejenak mereka beristirahat dengan duduk di trotoar sambil minum air di tengah
panasnya cuaca pada hari itu.
Air mineral dalam botol besar pun sudah cukup untuk menghilangkan dahaga mereka. Minah membuka bungkusan pada kantong kresek hitam, sedangkan Sumi masih asyik mengelap keringatnya. Dikeluarkannya dua nasi bungkus yang menjadi jatah mereka untuk makan siang.
Sebungkus nasi yang berisi lauk tahu tempe dengan sayur toge pun dilahap mereka dengan segera. Debu yang berterbangan serta asap kendaaraan yang lewat tak dihiraukannya yang begitu asyik dengan nasi bungkus mereka.
Makan siang pun selesai, mereka saling bercengkrama. Tak terhindarkan keluh kesah mereka setelah bekerja dari pukul 7.30 pagi pun terucap. “Kadang iri liat orang laen udah tua tapi mereka idup nya seneng, gak kaya kita masih kerja di jalanan gini”, keluh Ibu Minah. Sumi menyambung, “ Ya namanya juga kita orang susah, kalo gak gini kita mau makan apa”.
Minah yang merupakan ibu dari dua orang anak itu terpaksa bekerja sebagai penyapu jalan raya. Karena suaminya sudah lumpuh dan tidak bisa bekerja untuk mencari nafkah. Anak-anak Minah sudah berkeluarga, tapi mereka pun sama hanya bekerja sebagai buruh pabrik. Penghasilan anak-anaknya hanya cukup untuk makan keluarganya masing-masing. Dan darimana Minah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan obat untuk suaminya?
Tak jauh berbeda dengan Minah, Sumi yang sama-sama tinggal di kawasan belakang Rumah Sakit Sitanala pun menjadi tulang punggung keluarga. Untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan tiga orang anaknya yang masih ada bersekolah, harus bekerja menjadi penyapu jalan raya. Setelah ditinggal suami karena meninggal dua tahun yang lalu, Sumi bingung bagaimana dia membayar uang kontrakan dan biaya sekolah anak-anaknya.
Ketika disinggung masalah gaji atau upah yang didapat, mereka hanya tersenyum entah menandakan apa. “Ya asal cukup buat makan sama sekolah anak-anak aja”, celetuk Sumi. Minah menambahkan “Tapi emang enak sih kadan kita dijemput sama mobil bak DKP, nanti pulang juga kita dianter sampe rumah”.
Dengan mata yang sayu menandakan kelelahan, mereka sudah mulai bersiap-siap melanjutkan tugasnya. Karena masih sekitar 100 meter lagi jalanan yang belum disapu. Jam kerja mereka yang begitu lama sekitar 9 jam per hari kadang membuat mereka begitu kelelahan, tapi apa mau dikata itu sudah menjadi tugas dan pekerjaan mereka demi merias kota membuatnya terlihat rapi dan bersih.
Tak hanya mengeluh lelah, Sumi dan Minah pun kadang kesal melihat ulah pengandara maupun para pejalan kaki yang selalu membuang sampah sembarang. Merasa tak dihargai, dan merasa dilecehkan kdang muncul dengan semakin banyaknya para pembuang sampah sembarangan. “Kalo sampah-sampah daun kering sih itu wajar yah karena mungkin kena angin, tapi kalo botol, plastik-plastik itu kan bikin jalanan kotor dan gak bagus buat dilihat” curhat Minah.
Melihat banyaknya jumlah sampah botol dan plastic yang berserakan, mereka berinisiatif untuk mengumpulkan sampah tersebut dan dijual kepada pengepul plastik. “Lumayan lah kan buat tambahan”, kata Minah sambil tersenyum. Makanya sekarang apabila mereka dinas sebagai perias kota, maka akan selalu ada satu teman mereka yang menemani, yaitu karung kesayangan. Karung utnuk wadah sampah botol dan palstik.
Di lain sisi sekitar jalan Proklamasi itu merupakan pusat pendidikan di Kota Tangerang, jadi terdapat sekolah-sekolah baik tingkat SMP maupun SMA. Dan juga ada beberapa kantor dinas di bilangan jalan tersebut. Itu pun yang menjadi pekerjaan keras bagi Minah dan Sumi karena anak sekolah yang notabene memiliki pendidikan lebih baik dari dua wanita tau penyapu jalan ini, malah dengan seenaknya mebuang sampah dan tidak memelihara lingkungan. Sumi berujar, “Kadang malah ada yang saya tegor anak-anak kalo buang sampah di jalanan”.
Mengapa mereka kadang berani menegur orang yang buang sampah sembarangan, karena sebenernya bukan hanya mereka “si seragam oranye” yang bertugas merias dan memperindah kota, tapi juga menjadi tanggung jawab semua orang yang merasa dirinya menggunakan fasilitas dan tinggal di kota tersebut.
Meskipun kadang kesal dihati, dan rasa lelah terasa oleh mereka berdua tapi dengan tulus Minah dan Sumi melaksanakan tugasnya sebagai perias kota.
Mari kita hias, rias, dan rawat lingkungan kota tercinta! Bukan hanya “si seragam Oranye” yang bisa jadi perias kota, tapi kita semua juga bisa. Karena merias kota dimulai dari merias diri sendiri dengan sikap dan perilaku yang baik. Terima kasih Perias Kotaku, si seragam oranye.
(Apr.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar